Selasa, 07 Oktober 2014

ANAK PELENGKAP DERITA ORANG TUA

ANAK PELENGKAP DERITA ORANG TUA
Sepasang suami istri, masih muda dan sehat serta tampak wajah kecemasan dan gerah dengan anaknya, mereka datang untuk berkonsultasi dan berniat untuk mengambil sesi terapi untuk anaknya. Ada apa dengan anaknya? Rudi, sebut saja seperti itu. Anak laki-laki pertama dari keluarga tersebut berusia sekitar 9 tahun. Dia sangat bermasalah dengan ketakutannya. Takut sendiri, takut ditinggal, hal ini cukup menganggu dimana usianya sudah masuk kelas 4 SD. Orang tuanya mengeluhkan anak ini tidak bisa di tinggal, selalu ingin ditemani, sang ibu mengeluh, dipikirnya semakin dewasa akan semakin berani, ternyata tidak. Semakin menjadi dan cenderung menyulitkan keseharian aktivitas orang tuanya. Anda pernah merasakan hal ini? Apa yang anda rasakan? Mau marah, jengkel, tetapi ini adalah anak kita, serba salah bukan?
Ping! Ping! BlackBerry saya jam lima pagi sudah dipenuhi kepanikan seorang ibu yang kuatir berat. Dengan mata yang berat, saya melihat ada apa dengan BlackBerry saya, kok pagi begini ada yang “nge-ping”. Isinya darurat, rupanya “mawar foto telanjang”. Separuh jiwa saya rasanya seperti dipukul, bangun belum seutuhnya sudah diberi kabar bahwa anak klien saya berusia 13 tahun sudah foto telanjang.
Orang tuanya berharap saya bisa diajak komunikasi saat itu juga, sambil berjalan keluar dan mengumpulkan kesadaran saya, 10 menit kemudian saya menghubunginya. Diujung sana, tanpa banyak bicara terdengar isak tangis seorang ibu, tidak bisa bicara dan akhirnya telepon diserahkan kepada suaminya, dan suaminya berbicara seputar kejadian yang memalukan tersebut. Ada apa dan kenapa semua ini bisa terjadi? Ingat tidak ada asap tidak mungkin ada api. Asapnya sudah anda ketahui, apinya? Apa sih yang menyebabkan hal ini terjadi? Kita akan belajar bersama tentang hal-hal praktis yang melatarbelakangi kenapa masalah-masalah anak ini terjadi.
Apakah anak dilahirkan untuk menjadi anak seperti ini (bermasalah)? Apakah setiap anak akan menjadi seperti ini? Jawabannya adalah tidak. Banyak sekali orang tua tidak tahu bagaimana memperlakukan dan mendidik anaknya dengan baik dan benar, karena menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Tidak ada sekolahnya tetapi sangat dibutuhkan ilmu menjadi orang tua yang baik, pada awalnya saya juga mengalami fase ini. Menjadi orang tua yang tidak tahu apa-apa, hanya punya 3 jurus jika ada masalah anak. Apa 3 jurus favorite orang tua yang putus asa ini:
1.    Ancam : “awas ya kalo kamu begitu lagi”, “kamu tidak akan ikut jalan-jalan”, “kamu kalau begitu bukan anak mama” ini adalah hal umum yang sering kita dengar.
2.    Marah Dengan Teriakan : “dasar BODOH!!”, “PERGI!!”, “KELUAR!!”
3.    Pukul : langsung pukul tanpa penjelasan yang perlu saya perjelas.
Pertanyaan saya, apakah kita tahu hasilnya jika anak dibesarkan dengan cara seperti ini? Mari kita perjelas satu persatu jika anak yang konsisten dididik dengan cara seperti ini, 10-15 tahun kedepan apa jadinya kehidupannya di masa depan.
1. Anak yang dididik dibawah ancaman
“Kalau kamu tidak mau membersihkan kamarmu, semua mainanmu papa kasih ke orang lain!” anak seperti ini akan belajar hidup meneror, teman bahkan kelak pasangan hidupnya. Karena dia belajar untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan cara mengancam, seperti orang tuanya ingin mendidiknya (karena ketidaktahuannya) dengan baik dan membentuk perilakunya dengan ancaman. Disamping itu anak juga akan belajar melawan yang biasanya bertumbuh sesuai usianya, jika masih kecil melawannya kecil, jika sudah besar maka perlawanan besar.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas..; Kalau..; Nanti..; jika ini terus diulangi pada generasi anak kita maka yang terjadi adalah generasi sakit hati, dan generasi peneror. Ini adalah generasi yang akan mewariskan sakit hati dan perilaku meneror pada anak cucu kita dan orang-orang yang dicintainya.
Ada dua akibat penting dari sering mengacam anak. Anak akan belajar berbohong karena ketakutan diancam dan anak akan jadi anak yang penakut, dan sampai besar pun akan membawa sikap-sikap ini. Dan percayalah, pada beberapa kasus klinis yang saya tangani, sampai besar pun anak-anak yang sering diancam tetap akan hidup dalam ancaman. Baik dari rekan kerja, bahkan pasangannya.
Sebenarnya ada alternatif lain selain memberikan ancaman kepada anak. Coba kita perhatikan beberapa diantaranya:
·         Ajukan pilihan. “Rapikan kamarmu sekarang supaya waktu menontonmu lebih lama, atau rapikan nanti dan kamu tidak bisa menonton acara favoritmu sama sekali.”
·         Beri batasan. “Sepuluh menit lagi mama akan bereskan meja makannya, kalau kamu tidak makan sekarang, kamu bisa makan nanti malam saja.”
·         Tetapkan aturan main: apa saja tugas atau kewajiban anak dan konsekuensinya jika ia tidak memenuhinya. Lakukan ini di awal sebelum ada pelanggaran, sehingga anak sudah tahu akibat yang akan ditanggungnya. Jadi, anda tidak lagi perlu mengancam, cukup mengingatkan saja!
2. Dampak dari berteriak kepada anak
Ada sebuah cerita bagus, salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang tinggal disana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon.
Untuk apa hal tersebut dilakukan? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh sangat menakjubkan.
Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering, ini fakta! Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan. Wow, kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh.
Kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap makhluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati. Nah, sekarang, yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti anda sedang mematikan rohnya. Pernahkah anda berteriak pada anak anda? Seperti: Ayo cepat! Dasar lelet! Bego banget! Begitu saja tidak bisa! Jangan main-main disini! Berisik!
Minder, takut berbuat salah, harga diri rendah, tertutup, bahkan menjadi pemarah adalah anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini. Bentakan bukan solusi, bentakan dan teriakan adalah bentuk ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi perilaku anak. Jadi apa solusinya? Belajarlah mengendalikan perilaku anak. Hal apa yang perlu dipelajari?
Pahami kepribadian anak dan bagaimana berkomunikasi, pelajari tehnik mendisiplinkan anak, semuanya ada di website ini.
3. Dampak dari memukul anak
Anak yang sering mendapatkan pukulan karena kemarahan orang tua atas sikap dan perilaku anak, maka anak akan belajar satu hal penting, yaitu jika saya marah maka pukul. Kenapa? Karena dia dibesarkan dan sering melihat orang tuanya yang marah lalu memukul. Dari situ dia belajar, jika marah maka saya akan memukul. Maka jika di sekolah ada anak yang sering memukul bisa jadi anak tersebut sering dipukul di rumah.
Contoh kasus nyata, sewaktu saya menjadi guru beberapa tahun silam. Klien saya sebut saja Dodi. Dodi dibesarkan dengan penuh kekerasan dan kurangnya kasih sayang. Tidak jarang Dodi menerima kekerasan fisik dari ibu dan ayahnya. Setiap hari sang ayah dan ibu bekerja sampai larut, karena pada masa Dodi kecil kehidupan ekonomi keluarga tidak begitu baik. Sehingga sewaktu Dodi kecil, kurang mendapatkan kehangatan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Yang lebih parah sang ibu adalah orang yang cukup tempramen. jika marah pada Dodi, maka dengan mudahnya dia melampiaskan emosi tersebut dengan hukuman fisik (pukul), ini berlangsung sampai Dodi berumur 11 tahun (kelas 5 SD).
Orang tua merasa mencintai Dodi dengan memberikan berbagai fasilitas dan pemenuhan materi semata, tetapi Dodi tidak merasakan cinta yang orang tua berikan. Perasaan sebagai anak yang dicintai oleh orang tuanya tidak ada. Perasaan iri terhadap adiknya terus membayangi Dodi, karena adiknya selalu mendapat perhatian lebih dari orang tuanya, hanya karena sang adik memiliki kesamaan minat dengan sang ayah yaitu otomotif.
Setiap harinya Dodi selalu diantar-jemput kesekolah dengan ayahnya manggunakan mobil. Satu waktu Dodi sempat ke sekolah dan pulang berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 kilometer begitu sampai sekolah dia sudah kelelahan, terkadang jika terlambat ,dia masih harus mendapat konsekuensi lagi dari sekolah. Hal ini terjadi selama 2 minggu. Apa yang menyebabkan tidak diantar oleh orang tuanya? Hanya karena dia tidak mau mengambil piring kotor sisa makanan ayahnya di meja makan. Perasaan dendam yang membara kepada sosok ayah ditumbuhkan dengan sengaja oleh seorang ayah yang tidak mengerti kondisi tumbuh kembang anak.
Hingga akhirnya saya dapat kabar dari ibunya, di usia yang masih 14 tahun sang ayah di TKO dengan satu kali pukulan tepat di rahang sebelah kiri oleh Dodi. Ini kisah nyata dan mengenaskan. Anda sudah bisa menjawab bukan kenapa ini terjadi?
Dalam relasi sosial di sekolah, tidak banyak teman yang suka dengan Dodi, karena dia memiliki cara bergaul yang cukup “agresif”, jika bercanda suka memukul dan sentuhan fisik yang menjurus kasar. Tidak jarang perkelahian terjadi berulang kali. Pihak sekolah sudah memberikan banyak macam peringatan, dari panggilan orang tua sampai skorsing selama 2 minggu tetap tidak mampu mengubah perilakunya. Dodi mencari pengakuan untuk dirinya sendiri dengan menjadi orang yang menakutkan di sekolah, lebih tepatnya “preman sekolah”. Menolak dan menentang peraturan sekolah dan guru adalah hal yang sering terjadi dalam kesehariannya di sekolah. Tidak sungkan pula Dodi mengumbar jika dia dewasa nanti kedua orang tuanya akan disiksa, dan dimasukan ke dalam panti jompo.
Sampai tahap ini masihkah anda berpikir bahwa memukul anak adalah solusi mendidik anak yang tepat? Dalam kehidupan kita sehari-hari kita seringkali menjalankan sesuatu karena pengkondisian masa lalu dan tidak pernah kita pertanyakan, sehingga kualitasnya menjadi itu-itu saja. Kita pasrah dengan pengkondisian masa lalu dan menjadi manusia robot. Hal ini terjadi di rumah, di kantor, di sekolah dan di setiap aspek kehidupan kita. Kita seringkali melakukan sesuatu karena memang sudah begitulah kebiasaannya. Bahkan dalam cara berpikir pun hal ini terjadi. “Saya ini sekringnya cepat putus sehingga mudah marah, jadi jangan buat sesuatu yang bisa meledakkan saya” atau “Saya tidak bisa pegang uang, kalau ada uang di tangan pasti cepat habis. Ada saja alasan untuk mengeluarkan uang saat saya pegang uang banyak” adalah beberapa contoh pengkondisian pikiran yang telah menjadi keyakinan dalam diri seseorang. Ada banyak sekali contoh seperti diatas dalam kehidupan kita.
Kita adalah makhluk yang dibentuk oleh segudang pengalaman, seperangkat lingkungan serta pengkondisian masa lalu. Kita bisa melakukan ketiga hal diatas (ancam, teriak, pukul) karena apa? Karena kita dulu mengalami dan melihat. Mendidik anak bagaikan rantai yang tidak putus, jika anda dibesarkan dengan cara dibentak, ya anda akan membentak anak anda, sederhana bukan program itu tertanam dalam benak anda.
Pahami dan resapi makna kata ini, saat seseorang tetap meyakini pengkondisian seperti itu dalam dirinya maka ia tidak berkembang dalam sebuah kesadaran diri. Ia hanyalah sebuah robot masa lalu yang bergerak dimasa sekarang dan tanpa ada perubahan.
Pertanyaan saya, jika anda boleh jujur. Apakah anda senang diperlakukan seperti ketiga hal diatas? Pertanyaan yang sama, apakah anak juga senang diperlakukan hal yang sama? Seperti judulnya Anak Pelengkap Derita Orang Tua, orang tua yang dahulu yang menderita karena dibesarkan dengan cara yang salah, akan meneruskan hal ini karena ketidaktahuan mereka. Kemungkinan juga orang tua seperti ini belum menyelesaikan masalah dengan masa lalunya, dan masih terus menyimpan beberapa kenangan pahit dimasa kecilnya dan terus terbawa hingga masa sekarang. Menderita secara batin, serta terjadi konflik diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Anda kenal dengan orang semacam ini? Saya memiliki seorang kenalan baik yang mengalami hal ini, yaitu diri saya sendiri.
Pada intinya semua orang dewasa (guru) dan orang tua, kita semua ini, memegang peran sebagai role model atau contoh dan panutan untuk anak-anak di sekitar kita, baik itu anak kita sendiri atau bukan. Jadi walaupun secara formal kita bukan guru, tetapi pada intinya kita semua adalah juga guru, seorang pendidik.
Ya, kita semua adalah guru dan orang tua pada saat bersamaan, seorang pendidik untuk siapa saja yang berada di sekitar kita dengan semua tindakan dan kata-kata kita.
Sehingga PENTING sekali bagi kita untuk melakukan hal-hal yang akan mempertahankan bekal sukses penting titipan Tuhan pada anak-anak kita, atau bahkan semakin menguatkan bekal sukses dan kaya tersebut. Kini dijaman yang semakin maju dan modern hendaknya kita mau terbuka dalam pemikiran, dan memahami tumbuh kembang anak dengan baik dan benar agar generasi kedepan semakin baik dan mewariskan hal-hal yang memberdayakan.


PENDIDIKAN KARAKTER

LANGKAH AWAL DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Komitmen merupakan langkah awal jika ingin memiliki karakter yang baik, tetapi komitmen seperti apa yang dibutuhkan untuk mensukseskan pendidikan karakter? Yaitu disiplin terhadap pendidikan karakter itu sendiri. Kali ini kita akan membahas dari sudut pandang sekolah.
Suatu ketika saya sempat mempresentasikan tentang pendidikan karakter dan dampaknya terhadap guru dan karyawan sekolah. Saya dan rekan sengaja menyeting agar lingkungan sekolah menjadi padu dengan isu pendidikan karakter yang akan didengungkan oleh sekolah yang bersangkutan. Saat saya menjelaskan tentang peraturan sekolah dan peraturan kelas, terlihat muka yang kurang nyaman, serta respon yang kurang antusias, serta air muka yang seakan berbeban berat menyikapi pelaksanaan pendidikan karakter.
Dan ditengah-tengah acara saya menjelaskan agar sekolah tidak perlu terburu-buru melakukan perombakan besar dalam aturan sekolah. Saya sangat memahami beban guru dalam mengajar dan kegiatan administrasinya, lakukan step by step yang penting ada komitmen dalam pelaksanaannya dan peliharalah disiplin sebagai motor penggerak pendidikan karakter itu sendiri, itu kuncinya. Disiplin, disiplin dan disiplin.
Sekilas saya jelaskan disiplin orang yang hidup di Indonesia dengan dua musim, berbeda dengan negara yang hidup dengan empat musim. Ketangguhan, daya juang dan inisiatif juga berbeda. Kita di Indonesia adalah wilayah yang tantangan secara alamnya cukup sedikit dibandingkan dengan mereka yang hidup di empat musim. Karena salah satu faktor inilah kita perlu belajar disiplin lebih lagi untuk kehidupan yang lebih baik. Disiplin sangat erat dengan kesuksesan, bahkan disiplin ada dalam satu paket dengan kesuksesan. Apapun yang hendak dicapai dalam kesuksesan itu disiplin adalah dasarnya. Bahkan ukuran disiplin sudah diformulasikan secara rinci oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier, bahwa butuh 10.000 jam kedisiplinan untuk menjadi master dalam bidang apapun. Penyanyi, atlet, profesional di bidang bisnis yang sukses telah melewati proses 10.000 jam. Dan anda tahu siapa saja yang telah menjadi master di bidangnya bukan? Sebut saja, Ruth sahayana, Taufik hidayat, Agnes Monica, Purwacaraka, Juna, Rifat Sungkar, Chairul Tanjung, Hermawan Kertajaya dan masih banyak sekali tokoh yang bisa disebut master di bidangnya masing-masing.
Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh secara nyata jika ada hanya sebatas proses pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat informasi tanpa adanya tindakan. Dewasa ini di media cetak, elektronik dan media internet banyak memberitakan tentang kasus jual beli kunci ujian, contek mencontek, plagiatisme, bahkan kasus kriminal yang dilakukan oleh pelajar, itu semua menunjukan bahwa nilai realisasi karakter bangsa tidak terwujud nyata. Fenomena ini muncul akibat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi antara lain :
1.    Rendahnya sarana fisik
2.    Rendahnya kualitas guru
3.    Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
4.    Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
5.    Visi dan moralitas pendidik serta anak didik yang rendah
6.    Mahalnya biaya pendidikan Memang menjadi masalah serius di negeri ini
Anggaran pendidikan yang sudah tinggi tidak menjamin sarana fisik yang baik dan biaya pendidikan yang terjangkau, penyebabnya jelas moralitas masyarakat yang mementingkan golongan, kepetingan pribadi dan mendapat keadaan yang tepat.
Keenam halangan ini hanya bisa hilang jika nilai luhur dan pendidikan karakter benar-benar terealisasikan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal berkaitan dengan permasalah diatas kiranya diperlukan suatu terobosan di dunia pendidikan untuk menciptakan generasi muda yang berkarakter dan berprestas tinggi. Untuk mencapai itu diperlukan inovasi dan pengembangan nilai disiplin serta komitmen dari setiap perangkat sekolah agar pendidikan karakter bisa terus berjalan. Dampak dari pendidikan karakter dapat membangun individu untuk mengenali dirinya sendiri dan mampu menetapkan tujuan pendidikannya.
Pendidikan karakter sebenarnya sudah ada sejak dulu seperti apa yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara melalui Among Metode, dimana ada tiga unsur pendidikan yang harus berjalan sinergis yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan Among Metode diharapkan anak akan tumbuh sesuai kodrat (naturelijke groei) dan keadaan budaya sendiri (cultuur histories). Sehingga ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen dan konsentris (Ki Hajar Dewantara). Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri, dan semua ini dapat dimulai dari kita semua. Sudahkan anda berkomitmen terhadap hal ini?
Sebagai informasi tambahan, kami memberikan E-book Gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak yang dapat anda pelajari agar kita semua dapat memaksimalkan pendidikan karakter di negara kita dan ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik serta mewarisikan hal terindah bagi anak cucu kita.


MISTERI NILAI ANAK HANCUR


3 MISTERI DIBALIK NILAI ANAK HANCUR

Berikut ini adalah artikel yang berfokus pada pola dan masalah belajar anak. Banyak sekali pertanyaan tentang hal ini yang muncul di website kami, berkaitan mengenai masalah belajar anak. Kita akan memahami dan belajar tentang faktor psikologis mengapa anak bermasalah dengan nilai di sekolah. Sebelum kita lebih jauh berinteraksi, pahami bahwa nilai atau angka(simbol) bukan satu-satunya penentu kesuksesan anak kelak di masa depan. Semua yang dialami saat dia sekolah akan banyak yang tidak digunakan kelak, jadi model pendidikan apa yang akan digunakan seorang anak hingga dia dewasa dan dapat diwariskan? Ya, didiklah karakternya dan tanamkan kesuksesan sejak awal di ladang karakternya.
Kenapa seorang anak ketika belajar di rumah bisa, diberi soal lebih susah daripada di sekolah juga bisa, bahkan waktu di tempat les dia diberi latihan soal yang banyak juga bisa, meskipun soalnya lebih sulit juga bisa, tetapi ketika ulangan tiba-tiba nilainya jelek. Nah apakah anda pernah punya masalah seperti ini? Anda yang punya anak SD, pasti sering mengalami masalah-masalah seperti ini. Anda pasti merasa jengkel ketika mengetahui bahwa anak anda yang tadi malam belajar sudah bisa semua, tapi ketika ulangan ternyata ulangannya dapat nilai jelek. Jika ini terjadi sekali dua kali mungkin anda bisa memakluminya, tapi jika ini terjadi berulang kali, anda pasti mulai jengkel pada anak anda. Bahkan bisa jadi anda frustasi dan kemudian malah mengeluarkan kata-kata negatif.
Nah apakah yang terjadi dibalik masalah ini. Seorang anak yang bisa sewaktu mengerjakan soal di rumah dan kemudian gagal waktu dia ulangan. Untuk hal-hal yang sama dan itu berulang kali, maka ada tiga hal yang perlu anda waspadai:
1. Anda perlu curiga bahwa anak ini mengalami kecemasan yang tersembunyi
Anda pasti bertanya nggak mungkin? dia cemas dari mana….kenapa koq dia cemas?
Kecemasan yang tersembunyi ini disebabkan oleh banyak faktor. Ya, jadi bisa jadi tuntutan yang terlalu tinggi dari kita orang tua atau mungkin bahkan dari gurunya. Tuntutan ini tidak bisa membuat si anak menunjukkan kwalitas optimalnya. Sehingga ketika ulangan,yang terbayang adalah ketakutan bahwa dia tidak bisa memenuhi tutuntan dari si orang tua. Atau tuntutan dari gurunya mungkin. Nah anda tahu, Ketika kita itu cemas maka kita tidak bisa berpikir secara jernih.Anda tentu pernah mengalaminya bukan? ketika anda sedang cemas, sedang stres berat. Maka hal yang sepele tentunya bisa jadi terlupakan. Nah ini yang terjadi pada anak-anak kita. Mereka cemas karena tuntutan kita yang terlalu tinggi,atau keharusan untuk menguasai sesuatu.
Ketika mereka merasa tidak mampu,kecemasan itu menghantui pikirannya. Dan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya tiba-tiba “blank”, pada saat ulangan. Ini juga sering terjadi pada kita. Ingatkah anda pada saat dulu anda kuliah? Mungkin masih SMA bahkan? Ketika kita ulangan tiba-tiba saja mendadak lupa akan jawaban yang harus kita tuliskan disana. Padahal tadi malam jelas-jelas kita sudah belajar, hal tersebut. Nah ketika kita menghadapi ulangan tiba-tiba saja hilang jawabannya. Apalagi ketika sang guru atau dosen mengatakan 5 menit lagi anda harus mengumpulkan,dan waktunya habis. Oke, makin kita paksa akhirnya kita stress dan akhirnya kita lupa. Dan anehnya ketika kita sudah mengumpulkan lembar jawaban, keluar dari ruang ujian tiba-tiba jawabannya muncul dalam pikiran kita. “ahh..” kenapa tidak dari tadi munculnya, anda pasti menggerutu pada diri anda sendiri. Anda pernah mengalami hal itu bukan?
Nah ini yang terjadi pada anak-anak kita. Jadi ketika mereka ulangan,maka sebaiknya jangan sampai mereka itu cemas. Tuntutan – tuntutan kita membuat mereka cemas. karena itu kita perlu instropeksi diri, apakah selama ini kita sudah menerima mereka apa adanya. Ya,kebanyakan dari kita berharap agar nilai mereka bagus. Tapi begitu nilai mereka jelek, kita mulai menuntut mereka. “Kenapa sih nilai kamu koq jelek?” Jarang sekali ada orang tua yang mengatakan, “oh iya saya bisa memahami kamu na, Apa yang mama/papa bisa bantu agar lain kali nilaimu lebih bagus lagi”. Jadi ketika seorang anak mempunyai nilai jelek, hal yang kita perlu lakukan adalah memahami dulu perasaannya. Saya yakin anak itupun tidak ingin nilainya jelek, bukan hanya kita. Diapun juga tidak ingin nilainya jelek tentunya. Tapi kenyataan yang dihadapi lain.
Ketika nilainya sudah jelek, dia sedih tetapi kita malah memarahi dia. Dia akan merasa bahwa dirinya tidak dipahami dan tidak dimengerti. Di lain hari kecemasan itu muncul dalam dirinya. Dia akan merasa, “aduh kalau saya jelek lagi saya pasti dimarahi lagi”, “saya pasti mengecewakan mama saya”. Pernah ada satu kasus dimana seorang anak tidak mau berangkat sekolah gara-gara hari itu ada ulangan. Dia mengatakan pada mamanya saya takut ma, “kenapa takut?” Tanya mamanya. “saya takut mengecewakan mama kalau nilai saya jelek”. Dan ini dilontarkan oleh seorang anak kelas 2 SD. Nah,dari kejadian tersebut sang mama belajar bahwa selama ini, dia sering berkata “mama nga masalah dengan nilai mu”. Tetapi kenyataannya dia membuat anaknya cemas. Jadi terkadang kita sebagai orang tua hanya mengatakan, “nggak.. nilai berapapun saya nggak masalah koq”. Tapi ternyata itu hanya di mulut saja. kenyataannya si anak merasakan hal yang berbeda, dia merasakan tuntutan orang tua yang terlalu tinggi.
Nah, untuk masalah ini sebaiknya kita perlu koreksi diri bagaimana caranya kita menerima seorang anak apa adanya, tidak tergantung dari nilainya. Ingat sebenernya nilai itu hanya mengindikasikan dia sudah bisa atau belum.Berbahagialah ketika nilai anak anda jelek. Karena apa? sekarang anda tahu mana yang dia itu belum bisa. Pembelajaran yang baik harusnya ditujukan untuk meningkatkan seorang anak sehingga ia bisa kompeten di dalam bidangnya. Bukan untuk melabel dia pintar atau bodoh.
2. Sebab yang lain adalah karena perlakuan-perlakuan negatif yang pernah di terima seorang anak bisa di rumah, bisa di sekolah.
Misalnya, ketika seorang anak nilainya jelek, kemudian kita marah-marahin dia, bahkan mungkin di hukum. Suruh berdiri di pojok, nggak boleh makan. Atau apapun yang kita bisa lakukan untuk itu. Nah ketika dia menerima perlakuan itu,maka perlakuan itu akan membekas di memorinya. Berikutnya ketika dia ulangan lagi di lain kesempatan maka yang dia liat di lembar soalnya bukan soal yang harus dibaca, tetapi wajah orang tuanya yang sedang marah. Wajah ini tiba-tiba saja muncul terbayang di dalam pikirannya. Anda bisa bayangkan jika kita berhadapan dengan soal ujian dan kemudian yang muncul adalah ketakutan membayangkan wajah orang tua yang sedang marah, karena kita tidak bisa. Atau mungkin wajah guru yang memalukan kita di depan teman-teman kita. Maka semua yang kita pelajari tiba-tiba saja menjadi hilang dan akhirnya ulangannya jelek.
Baiklah, jika ini terjadi sebaiknya anda perlu segera minta maaf pada anak anda. Anda cukup mengatakan, “tempo hari waktu ulangan kamu jelek,dan kemudian papa atau mama marah sama kamu saat itu perasaan kamu bagaimana?” apapun yang di jawab oleh anak anda terima apa adanya. Misalkan dia menjawab, Saya takutlah, saya merasa ini itu apapun itu anda tinggal ngomong “Oke Maaf, papa mungkin saat itu keceplosan ngomong. Atau mungkin saat itu mama lepas control sehingga memarahi kamu terlalu dalam. Tapi sebenernya maksud mama sangat baik. Kamu mau nggak maafin mama? Mama lain kali janji akan mendukung kamu jika nilai kamu jelek, kita akan cari solusinya sama-sama dan kamu boleh tanya sama mama bagaimana supaya jadi nilainya baik. Kamu pasti kepengen nilai kamu juga baik juga kan?” Nah, itu tentunya jauh lebih baik bagi si anak. Daripada kita hanya sekedar memarahinya, memintanya belajar, memaksanya belajar tanpa sama sekali mengakui perasaannya untuk diberi kasih saying dan untuk di terima apa adanya.
3. Sebab yang lain adalah kurangnya perhatian berkualitas.
Mungkin anda bertanya, “ah mana mungkin saya tidak memperhatikan anak saya”. Betul,saya percaya dan yakin bahwa setiap orang tua pasti memperhatikan anaknya.Tetapi terkadang perhatian yang kita berikan itu tidak cocok dengan apa yang diinginkan oleh si anak, yang saya maksud dengan perhatian di sini adalah perhatian yang berkuwalitas. Dalam arti kita memperhatikan juga perasaan-perasaan si anak. Bukan Cuma memperhatikan tugas-tugas yang dia harus slesaikan. Kebanyakan dari kita hanya memperhatikan tugas –tugas yang harus di selesaikan oleh seorang anak. Kita hanya memperhatikan kamu sudah ngerjakan PR belum? kamu sudah belajar belum? pensil kamu sudah diraut belum? Besok kalau ulangan kamu sudah siapkan pensil atau bolpointnya? Buku kamu sudah kamu siapin belum? kita hanya memperhatikan aspek-aspek fisik. Kita tidak memperhatikan aspek-aspek perasaan dari si anak.
Padahal yang jauh lebih dibutuhkanseorang anak adalah perhatian akan perasaan-perasaannya sehingga dia bener-bener di terima secara utuh oleh orang tuanya. Anda bisa memberikan perhatian berkuwalitas ini dengan lebih baik, dengan cara membaca artikel saya yang berjudul “Pentingnya Memahami Kebutuhan Emosional Anak”. Itu adalah salah satu cara terbaik untuk memberikan perhatian berkualitas pada anak Anda.